Bahan Baku,Hambat Pengembangan BBN

[10 Pebruari 2009] Setidaknya,saat ini terdapat tiga masalah besar dalam hal pengembangan bahan bakar nabati(BBN)di tanah air.Ketiga masalah itu adlah kurang nya bahan baku,pasokan serta pelaksanaan Publik Service Obligation(PSO)BBN.




Dirjen Migas Departemen ESDM Evita Legowo dalam paparannya di Komisi VII DPR di Jakarta, Senin (9/2) menyatakan, permasalahan tersebut yakni, harga bahan baku nabati yang lebih mahal ketimbang bahan bakar fosil atau BBM. Kedua, produsen BBN banyak yang terpaksa mengurangi pasokan untuk pasar domestik, karena harganya kompetitif.

Ketiga, pelaksanaan PSO tidak memiliki alokasi anggaran untuk membeli BBM lebih tinggi dari harga patokan BBM. Saat ini, kapasitas produksi BBN untuk biodisel mencapai 2,9 juta kilo liter (kl), untuk pemanfaatannya bahan bakar PSO sebesar lima persen atau sekira 625,038 ribu kl.

"Untuk bioetanol, kapasitas produksinya 215 ribu kl/ tahun. Sedangkan pemanfaatan bahan bakar PSO-nya, sebesar satu persen atau 206,389 ribu kl," ungkap Evita.

Sementara selisih rata-rata harga BBM dan BBN untuk periode November 2008-Januari 2009, mencapai Rp 610,08/ liter untuk itu usulan alokasi tambahan anggaran untuk BBN. Usulan alokasi tambahan anggaran subsidi untuk BBN bila harga pokok BBN lebih tinggi dari harga pokok BBN, yaitu rata-rata Rp 1.000/liter, jadi besarnya alokasi subsidi anggaran Rp 831,427 miliar.

Karena itu, kata Evita, langkah-langkah pemerintah dalam pemanfaatan BBN yang pertama yakni sosialisasi, penyediaan, pemanfaatan, serta tata niaga BBN terhadap masyarakat luas . Selain itu langkah selanjutnya menetapkan harga BBN, adanya penetapan tim harga BBN, melakukan pengawasan, melakukan evaluasi, dan melakukan verifikasi jumlah volume.

Kesempatan sama, Ketua Asosiasi Produsen Biofeul Indonesia (Aprobi) Purnardi mengatakan, tantangan saat ini adalah bagaimana membuat harga BBN yang wajar melalui referensi yang wajar pula."Karena harga BBN tidak bisa disamakan dengan harga BBM, dan produsen BBN memerlukan dukungan dan dorongan guna pengembangan produksi, terutama untuk bioetanol," kata dia.

Sedangkan, Sekretaris Jenderal Aprobi Paulus Cakrawan mengatakan, sejak Oktober 2008 para produsen terus merugi. Padahal, harga crude palm oil (CPO) turun mengikuti anjloknya harga minyak mentah dunial. "Awalnya Pertamina memakai harga negosiasi dengan kami. Tapi sejak Oktober 2008, mereka gunakan harga MOPS (Mean of Plats Singapore/harga rata-rata minyak di pasar Singapura)," ujar Paulus.

Akibatanya, pada Januari lalu, ditambahkan, satu produsen biodiesel telah menghentikan pasokannya ke Pertamina dan tiga produsen mengurangi pasokan sampai tinggal sepuluh persen. "Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat referensi harga BBN yang wajar. 'Kami, produsen biofuels siap mendukung program BBN," kata Paul.

Data Ditjen Migas ESDM menyebutkan, volume bioetahol yag disubsidi mencakup satu persen dari kuota premium bersubsidi pada APBN Perubahan 2009 sebesar 19,444 juta kl dan 5 persen dari solar bersubsidi 11,605 juta kl. Awalnya, alokasi subsidi BBN yang diplafonkan Rp 774,469 miliar untuk bio premium 194,444 kl dan solar 580,025 kl atau totalnya 774,469 kl. (kmb1)