Fenomena Politik menjelang Pemilu 2009



Tinggal beberapa waktu lagi bangsa kita akan melaksanakan perhelatan nasional, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR/MPR, DPRD Propinsi, kota dan kabupaten, kemudian disusul dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Menjelang hajatan ini partai-partai politik peserta pemilu, maupun para calon anggota legilslatif telah berlomba-lomba berkampanye lewat media massa maupun media elektronik. Spanduk, iklan dan gambar caleg menjadi ornamen disepanjang ruas jalan protokol sampai pelosok daerah terpencil sekalipun yang dikemas dalam ragam tema misalnya berjuang untuk rakyat, mengutamakan kepentingan rakyat, berjuang untuk keadilan, bangkit untuk perubahan, menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa dan masih banyak lainnya. Semuanya itu memiliki satu tujuan yaitu untuk menarik simpati masa pemilih.


Pemilu 2009, agak berbeda dengan pemilu sebelumnya, antara lain jumlah partai peserta pemilu lebih banyak 34 partai ditambah 6 partai local aceh, dari pemilu 2004 hanya 24 partai, tetapi jauh lebih sedikit dibandingkan pemilu 1999 sebanyak 48 partai. Banyaknya partai politik yang lolos verfikasi factual KPU menggambarkan semakin progresnya kehidupan demokrasi di Republik ini. Selain itu menggambarkan ekspresi ketidakpuasan masyarakat terhadap keberadaan partai politik, yang bisanya hanya mengobral janji saat kampanye, namun tidak mampu merealisasikan ketika berkuasa. Juga karena partai politik yang ada dianggap tidak mampu mewadahi aspirasi politik masyarakat yang terus bergerak dinamis dari waktu ke waktu. Orientasi partai politik masih seputar upaya pelanggengan kekuasaan, sehingga kepentingan rakyat menjadi termarginalisasi. Dan paling penting karena semakin tumbuh suburnya kesadaran politik masyarakat untuk lebih bebas bergerak menyuarakan aspirasi sesuai kepentingan dan idealisme nuraninya, tanpa tergantung pada partai politik yang ada. Alasan inilah yang kemudian membidani lahirnya berbagai macam partai politik dengan idealisme dan kepentingan berbeda pula entah itu kepentingan bisnis, agama bahkan sampai pada ranah etnis.

Issu ABS, iklan sampai saling tuding Menjelang Pemilu 2009 banyak hal menarik yang patut dicermati seperti munculnya wacana pelanggengan kekuasaan dengan hadirnya generasi baru di lingkungan politik seperti anaknya SBY, Megawati, Amin Rais, Sabam Sirait, dll dalam daftar calon anggota legislatif. Selain itu issu politik “ABS”, cukup membuat SBY gerah dan gelisah karena menurutnya ada indikasi gerakan terorganisir oleh petinggi militer aktif dalam kancah politik praktis sebagai team sukses calon presiden tertentu. alasan itu lalu kemudian mendorong Presiden SBY memanggil para petinggi TNI dan Polri ke instana, untuk mengantisipasi issu tersebut, sekaligus menegaskan netralitas TNI dan Polri.

Hal menarik lainnya seperti perdebatan terkait iklan maupun pernyataan politik yang sedang menghangat beberapa waktu belakangan. Sebut saja iklan partai demokrat yang mencoba menonjolkan keberhasilan SBY dalam menurunkan harga BBM. Begitu juga PDI Perjuangan mencoba menawarkan program beras murah. Demikian juga partai Golkar Jusuf seakan mendeklarasikan partainya sebagai ikon perdamaian konflik di wilayah nusantara. Memang demikianlah kondisi bangsa ini ketika menjelang Pemilu, perang iklan dan pernyataan politik selalu dipertontonkan kepada rakyat.

Moment-moment tertentu selalu digunakan untuk mencari simpati rakyat, tetapi tidak jarang juga digunakan untuk mengelabui rakyat. Katakan saja iklan partai Demokrat soal turunya harga BBM, seakan-akan ingin mengatakan kepada publik bahwa itu karena presiden SBY. Faktanya memang harga BBM diturunkan, tetapi sebelumnya juga dinaikkan oleh pemerintahan SBY.

Pertanyaannya adalah apakah turunnya harga BBM karena SBY seorang tokoh partai Demokrat, sehingga dijadikan iklan partai democrat, atau karena SBY sebagai Presiden Republik Indonesia. Persoalan mendasar dari turunnya BBM apakah memang karena kemauan politk SBY, atau sebagi konsekwensi dari turunnya harga minyak dunia. Bila merujuk pada sejarah, apa yang bisa dilakukan pemerintahan SBY ketika naiknya harga minyak dunia selain mengatakan tidak ada pilihan lain selain menaikan harga BBM, tanpa mempedulikan betapa menderitanya rakyat.

Demikian juga dengan iklan partai PDI Perjuangan yang katanya berjuang mendapatkan beras murah. Iklan seperti ini sebenarnya sangat tidak populer dan telah kehilangan momentum, kesempatan itu pernah diberikan rakyat kepada Megawati ketika menjadi presiden, namun toh tidak mampu memberikan pangan murah kepada rakyat, bisanya hanya menjual anset-aset negara ke pihak asing.

Demikian halnya dengan Jusuf Kalla laksana seorang satria, penyelamat wilayah nusantara dari konflik-konflik horizontal seperti di Ambon, Aceh, Kalimantan, Kupang dll. Harus diakui seorang Jusuf Kalla cukup berkontribusi terhadap penyelesaian Konflik di Indonesia, tapi bukan dalam kapasitasnya sebagai seorang Ketua Umum Golkar, melainkan dalam tugasnya sebagai Menkokesra saat itu. Lagipula konflik bisa terselesaikan karena dukungan semuan komponen bangsa, dan kesadaran masyarakat. Kenyataan ini menggambarkan para elite politik telah kehilangan kreativitasnya untuk mendesign iklan yang lebih cerdas dan mendidik rakyat. Materi eksploitasi hanya keberhasilan semata, sementara kegagalan ditutup rapat-rapat.

Disamping perdebatan seputar iklan, saling tuding antara elite politik juga turut meramaikan suasana menjelang pemilu. Misalnya pernyataan Megawati saat Rakernas PDIP di Solo bahwa Pemerintahan SBY, seperti permainan anak-anak “yoyo” naik turun, atas bawah. Sebelumnya juga, Megawati pernah membuat pernyataan bahwa pemerintahan SBY seperti goyang “poco-poco” goyang sana goyang sini, kemudian dibalas SBY bahwa Megawati “menebar pesona”. Perdebatan-perdebatan seperti ini adalah hal biasa, dan dimaknai sebagai politik pencitraan selain sebagai strategi mencari popularitas, juga untuk menjatuhkan rival politik. Namun kesannya karakteristik moral politik para elite belum dewasa. Etika kesantunan kurang dijaga, materi tontonan masih diluar substansi politik.

Dalam dinamika politik kebangsaan harusnya pertarungan politik dilakukan dalam konteks yang lebih fair, tidak harus dengan hujatan, kecaman atau nada-nada sinisme untuk menjatuhkan. Mungkin lebih baik jika perdebatan dilakukan dalam konteks menguji program masing-masing partai, sehingga lebih matang ketika berkuasa nanti. Seputar recruitmen Caleg Permasalahan seputar recruitmen calon anggota legislatif, juga menjadi masalah serius dalam pemilu 2009. Dalam penjaringan caleg prinsip-prinsip rasional menjadi terabaikan. Siapa saja boleh menjadi caleg dengan ketentuan telah berusia 17 tahun, memiliki ijazah minimal SMA, memiliki surat keteranganan kesehatan dan surat berkelakuan baik. Dengan criteria seperti itu mengesankan pemilu 2009 adalah bursa lowongan kerja, dan cukup beralasan sebab tidak sedikit para lulusan Perguruan Tinggi yang selama ini sulit mendapatkan pekerjaan beramai-ramai mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Fenomena ini sebagai akibat banyaknya partai yang ikut pemilu, sehingga untuk memenuhi ketentuan formil siapa saja dijaring menjadi anggota parpol kemudian dicalonkan menjadi anggota legislatif tanpa dibekali dengan pengalaman organisasi atau proses kaderisasi partai yang matang. Bahkan untuk mencari popularitas tidak sedikit partai politik memilih jalur instant dengan mengandeng para artis, atau siapa saja, bahkan tidak ketinggalan ibu-ibu rumah tangga yang dianggap memiliki kemampuan financial dan mampu mengkatrol perolehan suara pada pemilu 2009 dengan mekanisme penjaringan dor to dor.

Fakta ini tidak lantas menjadi pembenaran bahwa calon legislatif pemilu 2009 tidak berkualitas, tetapi yang pasti kemampuannya mesti diuji lagi. Kalau pencalonannya hanya sekedar untuk meramaikan konfigurasi pesta demokrasi, itu tidak masalah, namun yang menjadi masalah adalah ketika mereka terpilih menjadi angota legislatif, apa yang dapat diperbuatnya selain datang, duduk, dengar, diam, duit. Bahkan mungkin saja istilah sidang pleno, sidang komisi, pansus dll belum akrab ditelinga mereka. Dengan pola rekrut caleg seperti ini akan memberikan konsekwensi tersendiri terhadap wajah perlementer kita. Bagaimana nasib rakyat dan Bangsa ini ditangan orang-orang seperti itu. Tujuan bangsa ini untuk terciptanya masyarakat adil, makmur dan sejahtera akan semakin jauh dari harapan. Logikanya bagaimana mungkin rakyat kebanyakan bisa adil, makmur dan sejahtera, semetara para legislatornya saja tidak.

Berbeda dengan Amerika dan negara eropa lainnya, dimana orang yang terlibat ke pentas politik adalah orang yang secara material telah berkecukupan, sehingga saat menjadi anggota parlemen tidak lagi berfikir untuk memperkaya diri dengan korupsi atau suap sebagaimana saat ini menjadi foto buram wajah parlemen bangsa kita, dengan demikian menjadi mudah baginya untuk berfikir untuk mensejahterakan warga bangasnya. Berbekal pengalaman-pengalaman yang ada selama ini, mestinya menjadikan masyarakat kita lebih cerdas dalam menentukan pilihannya, tidak mesti karena selembar rupiah lalu hak kenegaraan kita menjadi tergadaikan dan nasib bangsa ini menjadi kelam. Bangunlah bangsaku, bangunlah rakyatku kita buat perubahan untuk negeri tercinta ini.